Suku Cia-cia dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa tinggal di pulau Buton. mata pencaharian mereka adalah bertanam jagung, padi dan singkong. Sebagian lagi matapencaharian mereka adalah sebagai nelayan dan membuat kapal. Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat.
Buton punya catatan sejarah penting sebagai pusat penyebaran agama Islam. Bahasa Cia-cia jika ditulis dalam abjad melayu ada banyak kalimat atau kata yang tidak bisa ditulis. Sementara jika ditulis menggunakan aksara Arab gundul, akan berbeda makna jika setelah ditulis dan diucapkannya. Hanya dengan aksara Hangeul Korea semua bunyi itu bisa ditulis. Karena menghindari kepunahan dari bahasa Cia-Cia maka hurup abjad Hangeul Korea digunakan.
Abjad hanguel yang sejatinnya memiliki 28 hurup itu diperkenalkan pertama kali oleh seorang raja Sejong The Gread di tahun 1443. Bahkan konon di museum kerajaan korea yang terdapat dibawah tanah ada sebuah paviliun Bau-bau yang isinya tentang suku Cia-Cia.
Namun jauh beberapa tahun yang lalu tepatnya sejak 2008 ternyata ada sebagian warga pulau Buton yaitu suku Cia-Cia yang akrab dengan bahasa dan tulisan korea. Bermula dari datangnya seorang pemakalah asal Korea, Prof Chun Thay Hyun tertarik dengan paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah bekas Kesultanan Buton ini.
Dia lalu menyempatkan waktu untuk penelitian dan memilih Cia-Cia dikarenakan wilayah ini belum memiliki alfabet sendiri, serta adanya kesamaan pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea. Bahasa asli Cia-Cia sendiri terancam punah bila terus dibiarkan karena tidak ada sitem penulisannya. Jadilah Pemkot Bau-Bau bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menggelar Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara.
Pemerintah Kota Bau-Bau bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute, lembaga riset bahasa Korea telah menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Huruf ini dipelajari mulai dari tingkat SD hingga SMA. Sejak saat itulah nama Cia-Cia populer di Korea.
Banyak jurnalis dari Korea dan Jepang datang ke Bau-bau untuk meliput keantusiasan masyarakat sana akan bahasa Korea. Itu membuat beberapa kali liputan tentang Bau-Bau diputar di televisi internasional.
Plang-plang jalan di kota Bau-Bau juga banyak yang memakai abjad Hanguel. Beberapa siswa, guru, masyarakat Cia-Cia, serta pihak Pemkot Bau-Bau pernah diundang langsung ke Korea. Mereka mendemonstrasikan kemampuan menuliskan huruf Hanggeul untuk bahasa Cia-Cia. Bahkan, beberapa guru dari Korea didatangkan langsung ke Bau-Bau untuk mengajarkan huruf Haenggul.
Mereka menyempurnakan kurikulum serta menjadi pembuka jalan bagi dibangunnya Pusat Kebudayaan Korea. Warga Cia-Cia sendiri melihat itu dengan penuh kebanggaan. Beberapa warga telah dikirim ke Korea untuk memperdalalm pengetahuan bahasa.
Tentu hal ini dapat menjadi kebanggan bagi kita warga Indonesia karena salah satu bagian negeri ini dapat dikenal luas oleh masyarakat global atau dapat pula menjadi pukulan bagi kita dan pemerintah khususnya yang dapat dikatakan kurang memiliki kepedulian bagi kebudayaannya sendiri.
BERALTERNATIF
Penggunaan aksara Hangeul-Korea di Bau-bau telah membawa kita pada, apa yang dikatakan oleh Bapak Antropologi Idonesia Koentjaraningrat, praktek mentalitas menerabas. Demi mencari jalan pintas dan instan untuk sebuah popularitas publik, sebagai daerah yang mampu mengadaptasi dan menyembangkan kebudayaan asing di era global, khasanah kekayaan kebudayaan nasional tergadai.
Masyarakat Indonesia memiliki beragam kebudayaan, berikut aksara dalam mentransformasikan pegetahuan dan nilai-nilai budayanya. Di Sulawesi misalnya, tiga daerah yang memiliki ikatan erat di masa lalu adalah Wolio (Buton), Wotu (Luwu), dan Layolo (Selayar).
Ketiganya, dari hasil studi lingusitik, memiliki persentase kimiripan bahasa yang tinggi (Pelras 2006), yang mengindikasikan kedekatan akar kebudayaannya. Dalam kaitan itu, masyarakat Bugis-Makassar telah lama dikenal menggunakan aksara Lontara sebagai media komunikasinya. Tetapi, mengapa kita tidak beralternatif untuk menggunakan media itu? Terlepas dari aspek dominasi budaya dan politiknya, yang dimiliki setiap daerah itu, alternatif ini masih dalam batas-batas terawang kebudayaan nasional. Atau alternatif lainnya adalah pemanfaatan aksara Arab dan Latin bagi kaum belia akademik Cia-cia. Akhirnya, selamatkan kebudayaan daerah demi masa depan kebudayaan nasional!
sumber : annida-online.com
waduh.. teliti dulu dunk, masyarakat cia-cia udh berapa lama ada di indonesia??, cari penyebabnya kenapa bahasa mereka lebih mudah dipahami dengan huruf korea???.. jangan asal menilai dengan dasar nasionalisme yg sempit. bisa jadi masyarakat cia-cia adalah nenek moyang orang korea kalo menurut genographic??? siapa tahu lo..
BalasHapus